Ada sesuatu yang magis dalam cara Allah mengatur sejarah untuk mempersiapkan kedatangan Rasulullah SAW. Setiap kali saya membaca tentang masa-masa akhir kepemimpinan Qushay bin Kilab, selalu ada yang membuat hati tersentuh tentang bagaimana beliau membangun fondasi yang akan bertahan hingga masa Islam. Dari yang saya pahami tentang konteks sejarah Arab pra-Islam, sistem yang dibangun Qushay bukan hanya struktur politik semata, tetapi juga fondasi spiritual dan sosial yang akan menjadi landasan bagi penyebaran Islam di kemudian hari.
Yang membuat saya terpesona dari periode ini adalah bagaimana Qushay, dalam masa senjanya, menunjukkan kebijaksanaan seorang negarawan sejati. Dia tidak hanya memikirkan masa kini, tetapi juga masa depan yang panjang. Wasiat yang dia berikan kepada anak-anaknya, sistem pelayanan jamaah haji yang dia bangun, dan cara dia menangani konflik dengan sekutunya menunjukkan kedalaman pemikiran dan visi yang luar biasa. Dalam konteks budaya Arab yang sangat menjunjung tinggi kehormatan pribadi dan kekuatan suku, pencapaian Qushay dalam membangun sistem yang melembaga dan berkelanjutan adalah prestasi yang sangat memukau.
Arbitrase Ya’mur bin Auf dan Legitimasi Kekuasaan
Dari yang saya baca dalam berbagai riwayat, keputusan arbitrase Ya’mur bin Auf menjadi momen yang sangat menentukan dalam sejarah Mekkah. Setelah pertempuran sengit antara koalisi Qushay dengan Khuza’ah dan Bani Bakr, kedua belah pihak menyadari bahwa konflik yang berlarut-larut hanya akan merugikan semua pihak. Mereka sepakat untuk membawa masalah mereka kepada seorang arbitrator yang dihormati, dan pilihan jatuh pada Ya’mur bin Auf bin Ka’ab bin Amir bin Laits bin Bakr bin Abdu Manat bin Kinanah.
Yang menarik bagi saya dari sosok Ya’mur bin Auf adalah bagaimana dia memiliki reputasi sebagai hakim yang adil dan tidak memihak. Keputusannya sangat mengejutkan dan menguntungkan Qushay secara total. Dia memutuskan bahwa Qushay bin Kilab lebih berhak atas Ka’bah dan pengelolaan Mekkah daripada Khuza’ah. Yang lebih mencengangkan, semua darah Khuza’ah dan Bani Bakr yang ditumpahkan oleh pihak Qushay tidak ada kewajiban ganti rugi, sementara semua darah Quraisy, Kinanah, dan Qudha’ah yang ditumpahkan oleh Khuza’ah dan Bani Bakr harus dibayar ganti rugi.
Keputusan ini bukan hanya memberikan kemenangan politik kepada Qushay, tetapi juga legitimasi hukum yang kuat. Ya’mur bin Auf kemudian diberi gelar “Asy-Syaddakh” karena dia menggugurkan kewajiban membayar ganti rugi darah dan menghapuskannya. Dalam pemahaman saya, gelar ini menunjukkan keberanian dalam mengambil keputusan yang adil meski kontroversial, berdasarkan prinsip-prinsip hukum yang lebih tinggi dari sekadar keseimbangan kekuatan politik.
Yang paling penting dari keputusan ini adalah pengakuan legal bahwa Qushay memiliki hak historis dan genealogis yang lebih kuat atas Ka’bah dan Mekkah. Sebagai keturunan Ismail bin Ibrahim, legitimasi Qushay tidak bisa dibantah, meski Khuza’ah telah menguasai Mekkah dalam waktu yang lama. Ini menjadi preseden penting dalam hukum Arab tentang pentingnya legitimasi keturunan dan hak historis.
Kebijaksanaan Politik Qushay dalam Masa Transisi
Setelah kemenangan yang sah secara hukum, Qushay menunjukkan kebijaksanaan politik yang luar biasa. Yang pertama dia lakukan adalah memboyong para pengikutnya dari negeri asal mereka ke Mekkah. Ini adalah strategi demografis yang sangat cerdas—dia tidak hanya menguasai Mekkah secara politik, tetapi juga mengubah komposisi penduduknya dengan orang-orang yang loyal kepadanya.
Namun yang membuat saya kagum adalah bagaimana Qushay tidak menerapkan perubahan secara radikal. Dia tetap memberi izin pada orang-orang Arab mengerjakan apa yang telah biasa mereka kerjakan, karena menganggapnya sebagai agama yang tidak seharusnya diganti secara tiba-tiba. Dia mengizinkan keluarga Shafwan, Adwan, An-Nasa’ah, dan Murrah bin Auf mengerjakan tugas-tugas tradisional mereka dalam pelayanan haji.
Kebijaksanaan ini menunjukkan pemahaman mendalam tentang psikologi masyarakat dan seni kepemimpinan yang efektif. Perubahan yang terlalu drastis dan mendadak seringkali menimbulkan resistensi dan ketidakstabilan. Dengan tetap menghormati tradisi yang tidak bertentangan dengan kepentingannya, Qushay berhasil menciptakan transisi yang relatif mulus dan mendapat penerimaan luas dari masyarakat.
Yang paling strategis, Qushay menguasai semua aspek kunci: penjagaan Ka’bah, penguasaan Sumur Zamzam beserta pemberian minum jamaah haji, jamuan makan kepada jamaah haji, Daar An-Nadwah sebagai pusat pemerintahan, dan komando perang Quraisy. Dengan menguasai titik-titik vital ini, dia memiliki kontrol penuh atas Mekkah tanpa harus mengganggu aspek-aspek yang kurang penting.
Gelar “Mujammi’” dan Pusat Kekuasaan Spiritual
Yang paling membanggakan dari pencapaian Qushay adalah bagaimana orang-orang Quraisy menyebutnya sebagai “Mujammi’” (pemersatu) karena dia berhasil menyatukan perpecahan yang telah berlangsung lama. Gelar ini bukan sekadar penghormatan, tetapi pengakuan atas prestasi politik yang luar biasa dalam konteks masyarakat Arab yang sangat tribal dan individualistik.
Kekuasaan Qushay begitu total dan dihormati hingga tidak ada seorang wanita yang dinikahkan, laki-laki dari Quraisy yang menikah, orang-orang Quraisy yang bermusyawarah, atau yang memutuskan perang kecuali di rumah Qushay dan ditangani oleh salah seorang anaknya. Bahkan ritual sederhana seperti gadis yang hendak mengenakan pakaian dewasa (tanda kedewasaan) harus dilakukan di rumah Qushay terlebih dahulu.
Yang sangat menarik adalah bagaimana Qushay menjadikan rumahnya, Daar An-Nadwah, sebagai pusat kekuasaan dengan pintu yang menghadap langsung ke Ka’bah. Ini bukan sekadar keputusan arsitektural, tetapi simbolisme politik yang kuat—menunjukkan bahwa kekuasaan duniawi (Daar An-Nadwah) dan spiritual (Ka’bah) berada dalam satu kesatuan harmonis di bawah kepemimpinannya.
Perintah Qushay kepada kaumnya pada masa hidup dan sepeninggalnya dianggap seperti agama yang harus diikuti dan tidak boleh diganti. Ini menunjukkan tingkat otoritas dan legitimasi yang telah dia bangun begitu kuat hingga melampaui kekuasaan personal dan menjadi institusi yang melembaga.
Syair-Syair Kemenangan dan Diplomasi Antar Suku
Yang sangat menyentuh dari periode ini adalah syair-syair yang ditulis para sekutu untuk mengabadikan kemenangan mereka. Rizah bin Rabi’ah, saudara seibu Qushay, menulis syair yang sangat epik tentang respons mereka terhadap panggilan Qushay: “Kala seorang utusan Qushay tiba, lalu berkata: penuhilah seruan kekasihmu. Kami berangkat cepat dengan kuda yang berlari cepat, meninggalkan para peragu dan yang merasa berat.”
Syair Rizah melukiskan perjalanan heroik mereka dengan detail yang memukau: “Kami berjalan dengan kuda itu di malam hingga pagi menjelang, kami sembunyi di siang hari agar tak terlihat musuh. Kuda-kuda itu demikian kencang laksana jalannya sekawanan burung, mereka semua merespon seruan utusan Qushay.” Gambaran tentang kekuatan pasukan mereka juga sangat menginspirasi: “Kami kumpulkan manusia dari dua Gunung Asymadz, dan kami kumpulkan satu orang dari setiap kabilah. Wahai alangkah gagah pasukan kuda itu, lebih seribu berlari kencang dan teratur rapi.”
Tsa’labah bin Abdullah dari suku Qudhai juga menulis syair yang mengagumkan tentang kemenangan mereka: “Kami bawakan kuda-kuda yang berlari cepat, berlari cepat dari anak bukit pasir Al-Jinab menuju dua Gua Tihamah. Kami dari Al-Faifa berjumpa di lembah yang runtuh, adapun para Shufah yang banda, tinggalkan rumah-rumah mereka menghindari tebasan pedang.”
Yang paling menarik adalah syair Qushay sendiri yang menunjukkan rasa percaya diri dan legitimasi klaim: “Aku anak para penjaga dari Bani Luay, rumahku di Mekkah di dalamnya aku berkembang. Sungguh, Ma’ad telah mengetahui lembah ini adalah milikku, dan aku bersenang-senang dengan Marwanya.”
Konflik dengan Rizah dan Kebijaksanaan Diplomasi
Namun tidak semua berlangsung mulus setelah kemenangan. Ketika Rizah bin Rabi’ah kembali ke negerinya dan mengokohkan kekuasaannya, dia terlibat konflik dengan Nahd bin Zaid dan Hautakah bin Aslum, dua kabilah di Qudha’ah. Rizah mengancam mereka hingga akhirnya mereka pergi ke Yaman dan disingkirkan dari negeri-negeri Qudha’ah.
Yang menarik bagi saya adalah reaksi Qushay terhadap tindakan Rizah ini. Meskipun Rizah adalah saudara seibu yang telah membantunya merebut Mekkah, Qushay tidak segan-segan mengkritik tindakan yang dia anggap merugikan persatuan Qudha’ah. Dia menulis syair yang menyampaikan ketidakpuasannya: “Adakah yang bersedia menyampaikan pesanku kepada Rizah? Sungguh, aku mencelamu karena dua hal. Karena perilakumu pada Bani Nahd bin Zaid, juga karena engkau memisahkan mereka denganku. Dan Hautakah bin Aslam, jika ada kaum yang mencederai mereka, maka mereka telah mencederaiku.”
Sikap Qushay ini menunjukkan tingkat kedewasaan politik yang luar biasa. Dia tidak membiarkan ikatan kekeluargaan membutakan mata terhadap tindakan yang salah. Dia memahami bahwa persatuan yang telah dia bangun dengan susah payah bisa terancam jika para sekutunya saling bermusuhan. Dalam pemahaman saya, ini adalah contoh sempurna tentang bagaimana seorang pemimpin sejati harus menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan personal atau keluarga.
Wasiat Agung kepada Abduddar dan Sistem Suksesi
Ketika Qushay sudah semakin renta dan tulang belulangnya semakin melemah, dia menghadapi dilema besar dalam hal suksesi. Meskipun Abduddar adalah anak sulungnya, Abdu Manaf telah harum namanya sejak ayahnya masih hidup dan memiliki pengaruh besar bersama Abdul Uzza dan Abdu. Namun Qushay memutuskan untuk tetap memberikan warisan kepemimpinan kepada Abduddar sesuai dengan tradisi primogenitur (hak anak sulung).
Wasiat Qushay kepada Abduddar sangat mengharukan dan menunjukkan kebijaksanaan seorang ayah sekaligus negarawan: “Ketahuilah, demi Allah, anakku, aku akan menempatkanmu sebagaimana yang lain di tengah kalian itu, walaupun mereka lebih terhormat darimu. Tidak boleh ada seorang pun dari mereka yang memasuki Ka’bah sampai engkau membukakannya. Orang Quraisy tidak boleh memancangkan bendera perang kecuali di tanganmu.”
Wasiat ini bukan hanya pembagian kekuasaan, tetapi juga pengakuan jujur tentang realitas politik. Qushay mengakui bahwa saudara-saudara Abduddar mungkin lebih terhormat dan berpengaruh, namun sebagai anak sulung, Abduddar memiliki hak yang harus dihormati. Untuk mengimbangi kekurangan tersebut, Qushay memberikan Abduddar posisi-posisi kunci yang sangat strategis.
Abduddar diberi hak eksklusif untuk membuka Ka’bah, memancangkan bendera perang, memberi minum jamaah haji, menjamu mereka, dan menguasai Daar An-Nadwah sebagai pusat pemerintahan. Dengan posisi-posisi ini, meski saudara-saudaranya mungkin lebih populer, Abduddar memiliki kontrol atas aspek-aspek yang paling vital dalam kehidupan Mekkah.
Sistem Rifadah: Revolusi dalam Pelayanan Jamaah Haji
Yang paling revolusioner dari warisan Qushay adalah sistem “rifadah”—sebuah sistem wajib pajak sosial untuk melayani jamaah haji. Qushay mewajibkan orang-orang Quraisy memberikan sebagian hartanya untuk menjamu jamaah haji yang tidak memiliki kelapangan harta dan bekal. Dana yang terkumpul digunakan untuk membuat makanan bagi jamaah haji pada hari-hari Mina.
Ketika mengenalkan sistem ini, Qushay berkata dengan penuh hikmat kepada kaumnya: “Wahai orang-orang Quraisy, sesungguhnya kalian tetangga-tetangga Allah, penduduk Rumah-Nya, dan penghuni tanah haram. Sesungguhnya jamaah haji ini adalah tamu-tamu Allah dan penziarah Rumah-Nya. Mereka adalah tamu yang pantas dimuliakan. Oleh sebab itu, buatlah makanan dan minuman untuk mereka pada hari-hari haji hingga mereka pulang meninggalkan negeri kalian.”
Yang memukau saya dari sistem ini adalah bagaimana Qushay berhasil mengubah paradigma masyarakat Quraisy. Dari suku yang sebelumnya hanya fokus pada kepentingan tribal, mereka diajak untuk memiliki tanggung jawab spiritual dan sosial yang lebih luas. Konsep “tetangga Allah” dan “tamu Allah” yang diperkenalkan Qushay menjadi fondasi spiritual yang akan diperkuat oleh Islam kemudian.
Sistem rifadah ini ternyata begitu kuat dan bermanfaat hingga bertahan melampaui masa jahiliah. Ketika Islam datang, tradisi ini tidak dihapus tetapi disempurnakan dan diadopsi secara resmi. Bahkan hingga masa penulisan ini, makanan untuk jamaah haji masih disediakan oleh penguasa di Mina pada setiap tahun hingga jamaah haji menyelesaikan ritual ibadah mereka.
Warisan Institusional yang Abadi
Yang paling menginspirasi dari kepemimpinan Qushay adalah bagaimana dia berhasil membangun institusi yang lebih besar dari dirinya sendiri. Al-Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abu Thalib meriwayatkan bahwa “Qushay bin Kilab menyerahkan semua perkara kaumnya yang selama ini di tangannya kepada Abduddar. Dan apa yang menjadi keputusan Qushay bin Kilab tidak boleh ditentang, dan apa saja yang diperbuatnya tidak boleh ditolak.”
Pernyataan ini menunjukkan tingkat otoritas dan legitimasi yang telah Qushay bangun begitu kuat hingga keputusan-keputusannya dianggap final dan tidak bisa diganggu gugat. Ini bukan sekadar kekuasaan diktatorial, tetapi otoritas yang dibangun berdasarkan prestasi, kebijaksanaan, dan dedikasi yang terbukti untuk kepentingan bersama.
Yang paling mengagumkan adalah bagaimana sistem yang dibangun Qushay bertahan dan bahkan disempurnakan oleh Islam. Konsep pelayanan terhadap jamaah haji, sistem pemerintahan terpusat di Mekkah, dan nilai-nilai keramah-tamahan terhadap peziarah menjadi bagian integral dari ajaran Islam. Ini menunjukkan bahwa visi Qushay tentang Mekkah sebagai pusat spiritual dunia benar-benar selaras dengan rencana Allah untuk kota suci ini.
Refleksi tentang Persiapan Ilahi untuk Islam
Dari perjalanan panjang cerita tentang wasiat Qushay dan sistem yang dia bangun, kita belajar bahwa Allah mempersiapkan setiap detail untuk kedatangan Islam dengan cara yang sangat indah dan terorganisir. Sistem rifadah yang dibangun Qushay menjadi fondasi bagi pelayanan jamaah haji yang terus berlangsung hingga kini. Konsep “tetangga Allah” dan “tamu Allah” yang dia perkenalkan menjadi bagian dari spiritualitas Islam.
Cara Qushay menangani konflik dengan bijaksana, membangun institusi yang berkelanjutan, dan menanamkan nilai-nilai pelayanan kepada sesama menunjukkan bahwa Allah telah mempersiapkan karakter-karakter mulia dalam silsilah Rasulullah SAW. Setiap langkah yang diambil Qushay, dari penaklukan Mekkah hingga pembangunan sistem pemerintahan, adalah bagian dari rencana besar Allah untuk mempersiapkan panggung bagi misi kenabian.
Dalam konteks kehidupan kita hari ini, kisah Qushay mengajarkan pentingnya membangun institusi yang lebih besar dari diri kita sendiri, memikirkan generasi mendatang, dan selalu menempatkan pelayanan kepada sesama sebagai prioritas utama. Semoga Allah memberikan kita taufik untuk meneladani visi jangka panjang, kebijaksanaan dalam mengambil keputusan, dan dedikasi untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi umat manusia, sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh leluhur mulia Rasulullah SAW ini.