Sirah Nabawiyah 23 July 2025

Hilf Al-Fudhul: Konfederasi Keadilan di Mekkah

Hilf Al-Fudhul: Konfederasi Keadilan di Mekkah
Bagikan:

Setiap kali saya membaca tentang peristiwa Hilf Al-Fudhul, selalu ada yang membuat hati saya tersentuh. Di tengah kerasnya kehidupan Mekkah pra-Islam, ternyata pernah lahir sebuah perjanjian yang menjunjung tinggi keadilan dan solidaritas sosial. Dari berbagai riwayat yang saya pelajari, kisah ini menjadi salah satu fondasi moral yang kelak sangat dihargai oleh Rasulullah SAW, bahkan setelah beliau diutus sebagai Nabi.

Latar Belakang Sosial Mekkah dan Kebutuhan Akan Keadilan

Dari yang saya pahami tentang kondisi Mekkah saat itu, masyarakat Quraisy hidup dalam tatanan sosial yang sangat kental dengan nilai-nilai kesukuan dan kehormatan. Namun, di balik kemegahan Ka’bah dan ramainya perdagangan, seringkali terjadi ketidakadilan, terutama terhadap orang-orang lemah dan pendatang. Dalam konteks budaya Arab abad ke-6, kekuatan dan status sosial menjadi penentu utama hak dan perlindungan seseorang.

Yang menarik bagi saya, di tengah sistem yang cenderung memihak kaum kuat, tetap ada nurani kolektif yang menolak kezaliman. Hilf Al-Fudhul lahir dari keresahan para tokoh Quraisy yang tidak rela melihat penindasan dibiarkan begitu saja. Mereka sadar, jika keadilan tidak ditegakkan, kehormatan Mekkah sebagai “tetangga Allah” akan tercoreng di mata dunia Arab.

Peristiwa di Rumah Abdullah bin Jud’an: Lahirnya Konfederasi Al-Fudhul

Kisah bermula ketika sejumlah kabilah Quraisy menginisiasi pertemuan di rumah Abdullah bin Jud’an, seorang tokoh terhormat dan dituakan di Mekkah. Dari yang saya baca, pertemuan ini dihadiri oleh Bani Hasyim, Bani Al-Muthalib, Bani Asad bin Abdul Uzza, Bani Zuhrah bin Kilab, dan Bani Taim bin Murrah. Mereka sepakat untuk membentuk satu perjanjian bersama: siapa pun yang teraniaya di Mekkah, baik penduduk asli maupun pendatang, harus dibela dan haknya dikembalikan.

Yang membuat saya kagum adalah bagaimana mereka menandatangani perjanjian ini dengan penuh kesadaran moral, bukan sekadar kepentingan politik. Mereka berikrar untuk berdiri di sisi siapa pun yang dizalimi, dan menuntut pelaku kezaliman mengembalikan hak korban. Perjanjian ini kemudian dikenal sebagai Hilf Al-Fudhul, sebuah konfederasi keadilan yang menjadi kebanggaan masyarakat Mekkah.

Spirit Perjanjian Al-Fudhul dalam Pandangan Rasulullah SAW

Yang sangat menyentuh hati saya adalah bagaimana Rasulullah SAW, jauh setelah peristiwa ini, tetap mengenang dan memuji Hilf Al-Fudhul. Dalam sebuah hadits shahih, beliau bersabda:

"لقد شهدت في دار عبد الله بن جدعان حلفا ما أحب أن لي به حمر النعم، ولو أدعى به في الإسلام لأجبت"
"Aku telah ikut menyaksikan perjanjian di rumah Abdullah bin Jud'an. Sebuah perjanjian lebih aku sukai daripada unta merah. Jika dalam Islam aku diundang untuk memaklumatkan perjanjian seperti itu, pasti aku akan mendatanginya."

Dari hadits ini, saya memahami bahwa nilai-nilai keadilan dan solidaritas yang terkandung dalam Hilf Al-Fudhul sangat sejalan dengan ajaran Islam. Rasulullah SAW tidak hanya menghargai perjanjian itu, tetapi juga menjadikannya teladan bagi umatnya dalam menegakkan keadilan sosial.

Pengaruh Hilf Al-Fudhul dalam Sejarah Islam

Yang menarik untuk diperhatikan adalah bagaimana semangat Hilf Al-Fudhul tetap hidup hingga masa-masa setelah kenabian. Dalam riwayat yang saya baca, ketika terjadi sengketa antara Al-Husain bin Ali dan Al-Walid bin Utbah di Madinah, Al-Husain mengancam akan menghidupkan kembali perjanjian Al-Fudhul jika haknya tidak diberikan. Dukungan dari Abdullah bin Zubair dan para sahabat lain menunjukkan bahwa spirit keadilan ini telah menjadi warisan moral yang dipegang teguh oleh generasi setelah Rasulullah SAW.

Menurut pemahaman saya, perjanjian ini menjadi semacam “konstitusi moral” yang melampaui batas-batas kesukuan. Siapa pun yang dizalimi, berhak mendapatkan pembelaan, dan siapa pun yang menzalimi, harus dikoreksi. Inilah nilai universal yang sangat relevan hingga hari ini.

Warisan Keadilan dan Solidaritas: Inspirasi untuk Masa Kini

Dari perjalanan panjang Hilf Al-Fudhul, saya belajar bahwa keadilan dan solidaritas sosial adalah fondasi utama masyarakat yang bermartabat. Perjanjian ini membuktikan bahwa bahkan di tengah masyarakat yang keras dan penuh persaingan, nurani kebaikan tetap bisa bersinar dan menjadi kekuatan perubahan.

Yang paling menginspirasi adalah bagaimana Rasulullah SAW mengakui dan memperkuat nilai-nilai baik yang sudah ada sebelum Islam. Islam datang bukan untuk menghapus semua tradisi, tetapi untuk menyempurnakan dan menegaskan prinsip-prinsip keadilan dan kemanusiaan.

Semoga kisah Hilf Al-Fudhul ini menginspirasi kita untuk selalu membela yang lemah, menegakkan keadilan, dan membangun solidaritas di tengah masyarakat, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh para pendahulu mulia di Mekkah dan diperkuat oleh ajaran Rasulullah SAW.

NAVIGASI SIRAH

Terkait

Lihat Semua