sirah-nabawiyah 24 July 2025

Nazar Abdul Muthalib: Ujian di Antara Zamzam dan Pengorbanan

Nazar Abdul Muthalib: Ujian di Antara Zamzam dan Pengorbanan
Bagikan:

Setiap kali saya membaca kisah tentang nazar Abdul Muthalib, selalu ada getaran haru yang menyelinap di hati. Bayangkan, di tengah gurun Makkah yang panas dan kering, seorang pemimpin Quraisy yang baru saja menemukan kembali Sumur Zamzam, tiba-tiba diuji dengan nazar yang luar biasa berat: menyembelih salah satu anaknya sebagai bentuk syukur dan pengabdian kepada Allah. Dari berbagai sumber sirah yang saya pelajari, peristiwa ini bukan sekadar kisah keluarga, melainkan cerminan dari pergulatan spiritual, budaya, dan tradisi Arab pra-Islam yang sarat makna.

Latar Belakang: Makkah, Zamzam, dan Tradisi Nazar

Dari yang saya pahami tentang kondisi Arab abad ke-6, Makkah adalah kota kecil yang menjadi pusat spiritual dan ekonomi karena Ka’bah dan Sumur Zamzam. Tradisi nazar—janji suci yang diikrarkan kepada Tuhan—sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat Arab. Namun, nazar Abdul Muthalib terasa sangat istimewa. Setelah perjuangan menggali Zamzam yang penuh tantangan dan konflik dengan para pemuka Quraisy, Abdul Muthalib bernazar: jika ia dikaruniai sepuluh anak laki-laki yang dewasa dan mampu melindunginya, ia akan mengorbankan salah satu dari mereka di sisi Ka’bah sebagai bentuk syukur kepada Allah.

Yang menarik, dalam tradisi Arab Jahiliah, pengorbanan manusia bukanlah hal yang lazim, namun bentuk pengabdian total kepada Tuhan seringkali diekspresikan dengan cara-cara ekstrem. Dari berbagai riwayat, saya melihat betapa kuatnya pengaruh kepercayaan dan simbolisme di sekitar Ka’bah, termasuk keberadaan berhala Hubal dan praktik undian dengan dadu yang menjadi bagian dari pengambilan keputusan penting.

Ujian Berat: Ketika Nazar Harus Ditepati

Waktu berlalu, dan Abdul Muthalib benar-benar dikaruniai sepuluh anak laki-laki. Inilah momen ujian sejati. Saya membayangkan suasana haru dan tegang ketika Abdul Muthalib mengumpulkan anak-anaknya, menjelaskan nazar yang harus ditepati. Dari yang saya baca, mereka semua menerima dengan penuh kepatuhan, meski tentu saja ada kecemasan yang mendalam. Setiap anak menuliskan namanya di dadu, lalu mereka menuju Ka’bah, tepat di hadapan patung Hubal, untuk melakukan undian.

Di sinilah tradisi Arab pra-Islam sangat terasa. Dadu-dadu itu bukan sekadar alat, melainkan simbol penyerahan diri pada takdir dan kehendak Tuhan, meski dalam bentuk yang masih bercampur dengan kepercayaan jahiliah. Ketika nama Abdullah—anak termuda dan paling dicintai Abdul Muthalib—yang keluar, suasana menjadi sangat dramatis. Saya bisa merasakan betapa berat hati seorang ayah yang harus menepati janji, namun juga tak ingin kehilangan putra kesayangannya, yang kelak akan menjadi ayah Rasulullah SAW.

Dialog, Penolakan, dan Pencarian Jalan Keluar

Yang membuat kisah ini semakin menarik adalah reaksi masyarakat Quraisy dan keluarga besar Abdul Muthalib. Mereka menolak keras rencana penyembelihan Abdullah. “Demi Allah, engkau tidak boleh membunuhnya sampai kapan pun hingga engkau memberi argumen kuat atas tindakanmu ini,” demikian kira-kira protes mereka. Dari berbagai riwayat, saya belajar bahwa masyarakat Arab sangat menjunjung tinggi nilai keluarga dan keberlanjutan keturunan. Mereka pun menyarankan Abdul Muthalib untuk mencari solusi lain, yaitu bertanya kepada seorang peramal wanita di Hijaz yang dikenal memiliki khadam jin.

Perjalanan ke Madinah dan Khaybar pun dimulai. Saya membayangkan betapa berat langkah Abdul Muthalib dan rombongan, membawa harapan dan kecemasan. Setelah menunggu bisikan dari khadam jin, sang peramal memberikan solusi: lakukan undian antara Abdullah dan sepuluh ekor unta, dan tambahkan jumlah unta jika undian masih jatuh pada Abdullah, hingga Tuhan ridha dan undian jatuh pada unta. Dari sini, saya melihat adanya upaya mencari jalan tengah antara menepati nazar dan menjaga nyawa manusia, sebuah nilai yang kemudian sangat ditekankan dalam ajaran Islam.

Puncak Ujian: Seratus Unta dan Keridhaan Allah

Kisah ini mencapai klimaksnya ketika Abdul Muthalib kembali ke Makkah dan menjalankan saran peramal. Setiap kali undian dilakukan, nama Abdullah yang keluar. Sepuluh, dua puluh, hingga akhirnya seratus ekor unta menjadi “tebusan”. Saya membayangkan suasana tegang dan penuh doa di sekitar Ka’bah, dengan Abdul Muthalib yang terus berdiri dan memohon kepada Allah. Akhirnya, undian jatuh pada unta, dan Abdullah pun selamat. Semua unta itu disembelih sebagai bentuk syukur dan penebusan nazar.

Dari yang saya pelajari, peristiwa ini menjadi asal muasal diyat (tebusan darah) dalam tradisi Arab, yang kemudian diadopsi dalam syariat Islam. Hikmah yang bisa kita ambil adalah pentingnya mencari solusi yang penuh kasih dan mengedepankan kemaslahatan, bahkan dalam situasi yang sangat sulit.

Hikmah dan Refleksi: Makna Pengorbanan dan Kasih Sayang

Yang selalu membuat saya kagum dari kisah ini adalah ketulusan Abdul Muthalib dalam menepati janji kepada Allah, namun juga kebijaksanaannya dalam mencari jalan keluar yang tidak melanggar nilai kemanusiaan. Abdullah, yang nyawanya diselamatkan, kelak menjadi ayah dari manusia termulia, Rasulullah SAW. Dari sini saya belajar bahwa setiap ujian besar selalu mengandung hikmah yang luar biasa, dan bahwa kasih sayang serta pengorbanan adalah fondasi utama dalam membangun keluarga dan masyarakat.

Dalam konteks spiritual, kisah ini mengajarkan kita tentang pentingnya tawakal, ikhtiar, dan mencari solusi yang diridhai Allah. Dari berbagai sumber sirah, saya juga memahami bahwa peristiwa ini menjadi pelajaran tentang pentingnya menjaga nyawa, menepati janji, dan mengedepankan hikmah dalam setiap keputusan.

Penutup: Warisan Ujian dan Inspirasi Sepanjang Zaman

Dari perjalanan panjang kisah nazar Abdul Muthalib, kita belajar bahwa ujian hidup seringkali datang dalam bentuk yang tak terduga. Namun, dengan ketulusan, doa, dan kebijaksanaan, Allah selalu memberikan jalan keluar yang terbaik. Kisah ini bukan hanya bagian dari sejarah, tapi juga inspirasi abadi tentang pengorbanan, kasih sayang, dan keimanan yang mendalam. Semoga kita bisa mengambil hikmah dan meneladani keteguhan hati Abdul Muthalib dalam menghadapi ujian, serta selalu berusaha mencari solusi terbaik yang diridhai Allah dalam setiap persoalan kehidupan.

NAVIGASI SIRAH

Terkait

Lihat Semua