Peristiwa pengusiran Jurhum dan penguasaan Baitullah oleh Kinanah dan Khuza’ah bukan sekadar kisah pergantian kekuasaan, melainkan cerminan dinamika sosial, spiritual, dan budaya Arab pra-Islam yang sarat hikmah. Berdasarkan penelitian terhadap sumber-sumber klasik seperti Ibnu Ishaq, Ibnu Hisyam, dan riwayat-riwayat sahih, kita akan menelusuri detail peristiwa ini dengan pemahaman mendalam tentang konteks zamannya.
Untuk memahami peristiwa ini, kita perlu mengetahui kondisi Arab saat itu. Mekkah, yang juga dikenal sebagai Bakkah, merupakan pusat spiritual dan ekonomi Jazirah Arab. Dalam tradisi Arab Jahiliah, Baitullah adalah simbol kehormatan dan keamanan. Namun, seiring waktu, kekuasaan atas Ka’bah sering menjadi sumber konflik antarsuku. Suku Jurhum, yang semula dipercaya mengelola Baitullah, mulai berlaku zalim: mereka memakan harta Ka’bah, menindas pendatang, dan menghalalkan kehormatan Tanah Haram. Konteks sejarah yang perlu dipahami adalah, pada masa itu, pelanggaran di Mekkah dianggap sebagai dosa besar, dan siapa pun yang melakukannya harus diusir dari sana. Nama Mekkah sendiri, menurut sebagian riwayat, berasal dari kata “bakka” yang berarti menghancurkan leher para tiran yang berbuat zalim di dalamnya.
Latar Belakang: Mekkah, Baitullah, dan Suku-Suku Arab Pra-Islam
Untuk memahami peristiwa ini, kita perlu mengetahui kondisi Arab saat itu. Mekkah, yang juga dikenal sebagai Bakkah, merupakan pusat spiritual dan ekonomi Jazirah Arab. Dalam tradisi Arab Jahiliah, Baitullah adalah simbol kehormatan dan keamanan. Namun, seiring waktu, kekuasaan atas Ka’bah sering menjadi sumber konflik antarsuku. Suku Jurhum, yang semula dipercaya mengelola Baitullah, mulai berlaku zalim: mereka memakan harta Ka’bah, menindas pendatang, dan menghalalkan kehormatan Tanah Haram. Konteks sejarah yang perlu dipahami adalah, pada masa itu, pelanggaran di Mekkah dianggap sebagai dosa besar, dan siapa pun yang melakukannya harus diusir dari sana. Nama Mekkah sendiri, menurut sebagian riwayat, berasal dari kata “bakka” yang berarti menghancurkan leher para tiran yang berbuat zalim di dalamnya.
Ketika kezaliman Jurhum semakin menjadi-jadi, Bani Bakr bin Abdu Manaf bin Kinanah dan Ghubsyan dari Khuza’ah merasa terpanggil untuk menegakkan keadilan di Tanah Haram. Berdasarkan riwayat Ibnu Ishaq, mereka sepakat untuk memerangi Jurhum demi menjaga kesucian Baitullah. Perang terbuka pun tak terelakkan. Kedua pasukan bertempur sengit di lembah-lembah sekitar Mekkah. Dari segi geografis, pertempuran ini berlangsung di wilayah yang kini menjadi pusat kota Mekkah, di mana Baitullah berdiri kokoh sebagai saksi sejarah. Dalam tradisi Arab abad ke-7, pertumpahan darah di sekitar Ka’bah adalah aib besar, namun kezaliman Jurhum telah melampaui batas. Akhirnya, Bani Bakr dan Ghubsyan berhasil mengalahkan Jurhum dan mengusir mereka dari Mekkah.
Kekacauan di Mekkah dan Awal Mula Konflik
Ketika kezaliman Jurhum semakin menjadi-jadi, Bani Bakr bin Abdu Manaf bin Kinanah dan Ghubsyan dari Khuza’ah merasa terpanggil untuk menegakkan keadilan di Tanah Haram. Berdasarkan riwayat Ibnu Ishaq, mereka sepakat untuk memerangi Jurhum demi menjaga kesucian Baitullah. Perang terbuka pun tak terelakkan. Kedua pasukan bertempur sengit di lembah-lembah sekitar Mekkah. Dari segi geografis, pertempuran ini berlangsung di wilayah yang kini menjadi pusat kota Mekkah, di mana Baitullah berdiri kokoh sebagai saksi sejarah. Dalam tradisi Arab abad ke-7, pertumpahan darah di sekitar Ka’bah adalah aib besar, namun kezaliman Jurhum telah melampaui batas. Akhirnya, Bani Bakr dan Ghubsyan berhasil mengalahkan Jurhum dan mengusir mereka dari Mekkah.
Kekalahan Jurhum bukan hanya kehilangan kekuasaan, tetapi juga luka batin yang mendalam. Amr bin Al-Harits bin Mudhadh Al-Jurhumi, salah satu tokoh Jurhum, mengekspresikan kesedihannya melalui syair yang penuh makna. Ia membawa dua patung kijang emas dan batu tiang Ka’bah, lalu menanamnya di Sumur Zamzam sebelum meninggalkan Mekkah menuju Yaman. Syair-syairnya, yang diabadikan oleh Ibnu Ishaq dan Ibnu Hisyam, menggambarkan betapa beratnya perpisahan dengan Tanah Haram:
Syair dan Ratapan Orang-Orang Jurhum
Kekalahan Jurhum bukan hanya kehilangan kekuasaan, tetapi juga luka batin yang mendalam. Amr bin Al-Harits bin Mudhadh Al-Jurhumi, salah satu tokoh Jurhum, mengekspresikan kesedihannya melalui syair yang penuh makna. Ia membawa dua patung kijang emas dan batu tiang Ka’bah, lalu menanamnya di Sumur Zamzam sebelum meninggalkan Mekkah menuju Yaman. Syair-syairnya, yang diabadikan oleh Ibnu Ishaq dan Ibnu Hisyam, menggambarkan betapa beratnya perpisahan dengan Tanah Haram:
“Ia berkata sambil bersimbah airmata Banyak wanita menangis dengan pedih Seakan antara Al-Hajun dan Safa tidak ada teman Dan di Mekkah tak ada orang yang begadang malam Aku katakan kepadanya, sementara hatiku gagap Laksana burung di antara dua sayapnya yang terbang Sungguh, kami dulu adalah penguasa Mekkah Namun perputaran malam mengubah segalanya…”
Syair ini bukan sekadar ratapan, melainkan refleksi atas takdir dan perubahan zaman. Dalam tradisi Arab, syair menjadi media untuk mengekspresikan perasaan terdalam dan merekam peristiwa penting. Yang menarik dari kepribadian Amr bin Al-Harits adalah kemampuannya menerima takdir dengan lapang dada, meski harus meninggalkan kehormatan dan kekuasaan.
Setelah Jurhum terusir, pengelolaan Baitullah jatuh ke tangan Khuza’ah, khususnya Ghubsyan, dan tidak diberikan kepada Bani Bakr. Amr bin Al-Harits Al-Ghubsyani ditunjuk sebagai pengelola utama. Pada masa ini, masyarakat Quraisy masih berupa kelompok-kelompok kecil yang tinggal di tenda-tenda dan rumah-rumah sederhana di sekitar Mekkah. Khuza’ah mengelola Baitullah secara turun-temurun, hingga akhirnya kepemimpinan terakhir dipegang oleh Hulail bin Habasyiyah bin Salul bin Ka’ab bin Amr Al-Khuzai. Dalam konteks budaya Arab, pengelolaan Ka’bah adalah simbol kehormatan tertinggi, dan setiap suku yang mendapat amanah ini dianggap mulia di mata masyarakat.
Pengelolaan Baitullah oleh Khuza’ah dan Kinanah
Setelah Jurhum terusir, pengelolaan Baitullah jatuh ke tangan Khuza’ah, khususnya Ghubsyan, dan tidak diberikan kepada Bani Bakr. Amr bin Al-Harits Al-Ghubsyani ditunjuk sebagai pengelola utama. Pada masa ini, masyarakat Quraisy masih berupa kelompok-kelompok kecil yang tinggal di tenda-tenda dan rumah-rumah sederhana di sekitar Mekkah. Khuza’ah mengelola Baitullah secara turun-temurun, hingga akhirnya kepemimpinan terakhir dipegang oleh Hulail bin Habasyiyah bin Salul bin Ka’ab bin Amr Al-Khuzai. Dalam konteks budaya Arab, pengelolaan Ka’bah adalah simbol kehormatan tertinggi, dan setiap suku yang mendapat amanah ini dianggap mulia di mata masyarakat.
Hikmah yang bisa kita petik dari peristiwa ini sangatlah dalam. Pertama, Mekkah dan Baitullah adalah tanah suci yang harus dijaga kehormatannya. Siapa pun yang berbuat zalim di dalamnya akan kehilangan hak dan kehormatan, sebagaimana dialami Jurhum. Kedua, pergantian kekuasaan di Tanah Haram selalu diiringi dengan hikmah ilahiah: Allah menjaga rumah-Nya dari tangan-tangan yang tidak amanah. Ketiga, syair dan ratapan Jurhum menjadi pengingat bahwa kekuasaan duniawi bersifat sementara, dan hanya ketaatan serta keikhlasan yang abadi. Dalam konteks umat Islam masa kini, peristiwa ini mengajarkan pentingnya menjaga amanah, menegakkan keadilan, dan selalu berserah diri kepada takdir Allah. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an, “Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS. Al-Baqarah: 20).
Hikmah dan Refleksi: Pelajaran dari Pergantian Kekuasaan di Tanah Haram
Hikmah yang bisa kita petik dari peristiwa ini sangatlah dalam. Pertama, Mekkah dan Baitullah adalah tanah suci yang harus dijaga kehormatannya. Siapa pun yang berbuat zalim di dalamnya akan kehilangan hak dan kehormatan, sebagaimana dialami Jurhum. Kedua, pergantian kekuasaan di Tanah Haram selalu diiringi dengan hikmah ilahiah: Allah menjaga rumah-Nya dari tangan-tangan yang tidak amanah. Ketiga, syair dan ratapan Jurhum menjadi pengingat bahwa kekuasaan duniawi bersifat sementara, dan hanya ketaatan serta keikhlasan yang abadi. Dalam konteks umat Islam masa kini, peristiwa ini mengajarkan pentingnya menjaga amanah, menegakkan keadilan, dan selalu berserah diri kepada takdir Allah. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an, “Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS. Al-Baqarah: 20).
Demikianlah kisah pengusiran Jurhum dan penguasaan Baitullah oleh Kinanah dan Khuza’ah. Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari sejarah ini, memperkuat iman, dan menjaga amanah dalam kehidupan sehari-hari. Wallahu a’lam bishawab.
Penutup
Demikianlah kisah pengusiran Jurhum dan penguasaan Baitullah oleh Kinanah dan Khuza’ah. Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari sejarah ini, memperkuat iman, dan menjaga amanah dalam kehidupan sehari-hari. Wallahu a’lam bishawab.