sirah-nabawiyah 24 July 2025

Cahaya di Busra: Pertemuan Bersejarah dengan Pendeta Bahira dan Tanda-tanda Kenabian

Cahaya di Busra: Pertemuan Bersejarah dengan Pendeta Bahira dan Tanda-tanda Kenabian
Bagikan:

Ada sesuatu yang magis dalam cara Allah mengatur pertemuan-pertemuan bersejarah dalam kehidupan Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam. Salah satu yang paling menarik perhatian saya adalah kisah pertemuan beliau dengan Pendeta Bahira di Busra, Syam, ketika masih berusia sangat muda. Dari berbagai sumber sirah yang saya baca, pertemuan ini bukan sekadar kebetulan, melainkan bagian dari skenario ilahi yang menunjukkan tanda-tanda kenabian sejak dini. Yang membuat saya selalu terpukau adalah bagaimana Allah memperlihatkan keagungan Rasulullah kepada orang-orang dari berbagai latar belakang, bahkan sebelum beliau diutus sebagai nabi.

Perjalanan Dagang ke Syam: Kasih Sayang Abu Thalib yang Tak Terpisahkan

Dalam konteks masyarakat Arab saat itu, perdagangan merupakan urat nadi kehidupan, terutama bagi suku Quraisy yang menguasai jalur perdagangan antara Utara dan Selatan. Dari yang saya pahami tentang geografis Jazirah Arab, rute perdagangan ke Syam adalah salah satu yang paling penting dan menguntungkan. Ketika Abu Thalib bersiap mengikuti rombongan dagang Quraisy menuju Syam, ada momen yang sangat menyentuh: keinginan kuat Muhammad kecil untuk ikut bersama pamannya. Yang selalu membuat saya terkesan adalah respons Abu Thalib yang penuh kasih sayang. Beliau berkata, “Demi Allah aku harus membawanya pergi bersamaku. Ia harus tidak berpisah denganku dan aku harus tidak berpisah dengannya untuk lamanya.” Dari ungkapan ini, saya bisa merasakan betapa dalamnya ikatan batin antara Abu Thalib dan Muhammad kecil. Meski dalam keterbatasan ekonomi, Abu Thalib tidak pernah menganggap Muhammad sebagai beban, melainkan sebagai bagian tak terpisahkan dari hidupnya.

Saya membayangkan perjalanan panjang melintasi gurun pasir menuju Syam, dengan kafilah unta yang membawa berbagai dagangan. Muhammad kecil belajar tentang kehidupan, perdagangan, dan interaksi sosial dari perjalanan ini. Dari pemahaman saya tentang tradisi Arab, perjalanan seperti ini adalah sekolah kehidupan bagi anak-anak Quraisy, tempat mereka belajar tentang dunia yang lebih luas. Yang menarik, Allah memilih perjalanan inilah sebagai momen penting dalam kehidupan Rasulullah, di mana tanda-tanda kenabian akan mulai terungkap kepada dunia.

Busra dan Pendeta Bahira: Penjaga Kitab Turun-Temurun

Yang menarik untuk diperhatikan adalah sosok Pendeta Bahira di Busra. Dari yang saya baca dalam berbagai riwayat, Bahira adalah seorang pendeta Kristen yang sangat alim, penjaga ilmu agama Kristen di rumah ibadahnya. Yang membuatnya istimewa adalah penguasaannya terhadap kitab-kitab suci yang diwariskan turun-temurun dari generasi ke generasi. Dalam tradisi agama-agama samawi, para ulama dan pendeta sering kali menjadi penjaga pengetahuan tentang tanda-tanda kedatangan nabi-nabi. Saya memahami bahwa Bahira memiliki pengetahuan mendalam tentang ciri-ciri nabi yang akan datang, berdasarkan kitab-kitab yang dipelajarinya.

Yang selalu membuat saya kagum adalah bagaimana Allah mengatur agar pertemuan bersejarah ini terjadi. Biasanya, rombongan Quraisy hanya melewati tempat Bahira tanpa berhenti, dan Bahira pun tidak pernah mempedulikan mereka. Namun, pada tahun itu, ada sesuatu yang berbeda. Bahira melihat sesuatu yang istimewa yang membuatnya keluar dari kebiasaannya. Momen ini menunjukkan bahwa Allah dapat menggerakkan hati siapa pun untuk mengenali keagungan Rasulullah, bahkan dari kalangan non-Muslim yang memiliki pengetahuan kitab suci.

Mukjizat Awan dan Pohon: Tanda-tanda Kenabian yang Kasat Mata

Dari riwayat yang sangat menyentuh, saya belajar bahwa ada mukjizat-mukjizat kecil yang menyertai Rasulullah sejak kecil. Ketika rombongan Quraisy berhenti di dekat rumah ibadah Bahira, Pendeta tersebut menyaksikan pemandangan yang luar biasa: awan yang menaungi Muhammad kecil di tengah rombongan, dan ketika beliau beristirahat di bawah pohon, ranting-ranting pohon merunduk seolah memberikan naungan khusus untuknya. Subhanallah, betapa indahnya cara Allah menunjukkan keistimewaan Rasulullah bahkan kepada alam semesta!

Yang membuat saya selalu terpukau adalah bagaimana mukjizat-mukjizat ini tidak bersifat memaksa atau mengagumkan secara berlebihan, melainkan halus dan hanya dapat dikenali oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan mendalam tentang tanda-tanda kenabian. Bahira, dengan pengetahuan kitab-kitabnya, mampu mengenali keistimewaan ini sebagai pertanda sesuatu yang agung. Dari sini saya bisa merasakan keindahan wisdom di balik cara Allah memperkenalkan Rasulullah kepada dunia: bertahap, dengan tanda-tanda yang jelas bagi yang mau memperhatikan.

Keramahan Luar Biasa dan Pengamatan Teliti

Momen yang sangat menarik adalah ketika Bahira tiba-tiba keluar dari rumah ibadahnya dan mengundang seluruh rombongan Quraisy untuk makan. Dari yang saya pahami tentang budaya Arab saat itu, tindakan Bahira ini sangat tidak biasa. Biasanya, ia tidak pernah mempedulikan para pedagang yang lewat. Ketika ditanya tentang perubahan sikapnya, Bahira memberikan jawaban yang diplomatis: ia ingin menjamu tamu dengan baik. Namun, di balik keramahan itu, tersimpan maksud yang lebih dalam.

Yang selalu membuat saya terkesan adalah perhatian detail Bahira terhadap seluruh anggota rombongan. Ia meminta agar semua orang, dari anak kecil hingga dewasa, dari budak hingga orang merdeka, semuanya hadir. Ketika Muhammad kecil tidak ikut karena sedang menjaga perbekalan di bawah pohon, Bahira segera bertanya dan meminta agar anak itu dipanggil. Ada seseorang dari rombongan yang berkata, “Demi Al-Lata dan Al-Uzza, sungguh sebuah aib bagi kami jika anak Abdullah bin Abdul Muthalib tidak ikut serta makan bersama kami.” Dari ungkapan ini, saya bisa melihat betapa Rasulullah sudah dikenal dan dihormati bahkan sejak kecil.

Dialog Bersejarah: Penolakan Terhadap Berhala dan Pengakuan Kebenaran

Salah satu momen yang paling berkesan dalam pertemuan ini adalah dialog antara Bahira dan Muhammad kecil. Ketika Bahira ingin menanyakan sesuatu dengan menyebut nama Al-Lata dan Al-Uzza (berhala-berhala Arab), respons Muhammad kecil sangat mengejutkan: “Janganlah sekali-kali engkau bertanya tentang sesuatupun kepadaku dengan menyebut nama Al-Lata dan Al-Uzza. Demi Allah, tidak ada yang sangat aku benci melebihi keduanya.” Subhanallah! Dari jawaban ini, saya bisa merasakan bagaimana fitrah tauhid sudah tertanam kuat dalam diri Rasulullah sejak kecil, bahkan sebelum beliau menerima wahyu.

Bahira kemudian mengubah cara bertanyanya dan menggunakan nama Allah. Muhammad kecil pun bersedia menjawab semua pertanyaan. Dari berbagai riwayat, Bahira menanyakan tentang kondisi tidur, postur tubuh, dan hal-hal lainnya. Semua jawaban Muhammad kecil sesuai dengan apa yang Bahira ketahui dari kitab-kitabnya tentang ciri-ciri nabi yang akan datang. Yang paling menentukan adalah ketika Bahira melihat tanda kenabian di antara kedua pundak Rasulullah—suatu tanda yang disebutkan dalam kitab-kitab suci sebagai ciri khas nabi terakhir.

Peringatan dan Perlindungan: Antisipasi Terhadap Bahaya

Setelah yakin dengan apa yang dilihatnya, Bahira memberikan peringatan penting kepada Abu Thalib. Dari dialog mereka, saya belajar tentang kehati-hatian yang harus dijaga. Ketika Bahira bertanya apakah Muhammad adalah anak Abu Thalib, dan Abu Thalib menjawab benar, Bahira segera mengoreksi: “Tidak! Dia bukanlah anakmu. Anak muda ini tidak layak memiliki seorang ayah yang masih hidup.” Ketika Abu Thalib menjelaskan bahwa Muhammad adalah anak saudaranya yang sudah meninggal, Bahira memberikan peringatan serius: “Segera bawa pulang ponakanmu ini ke negeri asalmu sekarang juga! Jagalah dia dari kejahatan orang-orang Yahudi!”

Yang membuat saya selalu terkesan adalah bagaimana Allah menyiapkan perlindungan untuk Rasulullah dari berbagai pihak. Bahira, seorang pendeta Kristen, justru menjadi pelindung bagi Muhammad kecil dari ancaman orang-orang yang mungkin berniat jahat. Dari riwayat, disebutkan bahwa ada tiga orang Ahli Kitab—Zurair, Tamam, dan Daris—yang juga mengenali keistimewaan Muhammad dan berusaha mendekatinya dengan niat buruk. Namun, Bahira melindunginya dan mengingatkan mereka tentang apa yang tertulis dalam kitab mereka, hingga mereka urung dari niat jahatnya.

Pertumbuhan dalam Perlindungan Allah: Dari Kecil hingga Dewasa

Dari perjalanan panjang cerita ini, saya belajar bahwa Allah senantiasa menjaga dan melindungi Rasulullah dari segala kemungkaran sejak kecil. Kisah yang Rasulullah ceritakan tentang perlindungan Allah ketika beliau bermain bersama anak-anak Quraisy sangat menyentuh. Ketika anak-anak lain bermain sambil telanjang dan memanggul batu, tiba-tiba ada sosok yang belum pernah dijumpai sebelumnya menegur Muhammad kecil dengan tamparan yang menyakitkan sambil berkata, “Kenakan kembali pakaianmu!” Sejak saat itu, beliau selalu berpakaian rapi, berbeda dengan teman-temannya.

Yang selalu menginspirasi dari momen ini adalah bagaimana Allah mendidik Rasulullah dengan cara-Nya yang unik, melindungi beliau dari hal-hal yang tidak pantas bahkan sejak masa kanak-kanak. Hingga beliau dewasa, Rasulullah dikenal sebagai sosok yang paling baik akhlaknya, paling mulia nasabnya, paling benar tutur katanya, dan paling agung dalam memegang amanah. Kaumnya memberinya gelar “Al-Amin” (yang dapat dipercaya) karena Allah menghimpun dalam dirinya segala sifat kebaikan.

Hikmah dan Refleksi: Persiapan Ilahi untuk Misi Besar

Semoga kisah pertemuan dengan Pendeta Bahira ini menginspirasi kita untuk selalu memperhatikan tanda-tanda kebaikan di sekitar kita dan menjadi pelindung bagi sesama. Pelajaran universal dari peristiwa ini adalah bahwa Allah senantiasa mempersiapkan hamba-hamba-Nya untuk misi besar mereka, bahkan sejak kecil. Setiap pertemuan, setiap pengalaman, dan setiap perlindungan yang kita terima adalah bagian dari rencana agung Allah. Mari kita belajar dari Abu Thalib tentang kasih sayang tanpa pamrih, dari Bahira tentang kejujuran dalam mengenali kebenaran, dan dari Rasulullah kecil tentang fitrah yang selalu terjaga dari kemungkaran.

NAVIGASI SIRAH

Terkait

Lihat Semua