sirah-nabawiyah 24 July 2025

Syair Duka di Makkah: Wafatnya Abdul Muthalib dan Awal Asuhan Abu Thalib

Syair Duka di Makkah: Wafatnya Abdul Muthalib dan Awal Asuhan Abu Thalib
Bagikan:

Setiap kali saya membaca kisah wafatnya Abdul Muthalib, kakek tercinta Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam, hati saya selalu tersentuh oleh nuansa duka dan keagungan yang menyelimuti peristiwa itu. Ada sesuatu yang sangat manusiawi sekaligus spiritual dalam cara keluarga Quraisy, khususnya putri-putri Abdul Muthalib, mengekspresikan kehilangan mereka. Dari berbagai sumber sirah, saya memahami bahwa momen ini bukan sekadar peristiwa keluarga, melainkan bagian penting dari pembentukan karakter Rasulullah dan dinamika sosial Makkah pra-Islam.

Duka di Tengah Gurun: Wafatnya Abdul Muthalib

Dalam suasana Makkah yang panas dan penuh hiruk-pikuk, wafatnya Abdul Muthalib menjadi peristiwa besar. Dari yang saya baca, beliau adalah sosok pemimpin Quraisy yang sangat dihormati, penjaga sumur Zamzam, dan pelindung Ka’bah. Ketika beliau wafat, Rasulullah baru berusia delapan tahun—usia yang sangat belia untuk kehilangan figur ayah sekaligus kakek yang menjadi sandaran hidup. Saya membayangkan, di tengah tradisi Arab yang sangat menekankan garis keturunan dan perlindungan keluarga, kehilangan ini terasa begitu berat. Namun, di balik duka itu, ada syair-syair eligi yang dilantunkan putri-putri Abdul Muthalib, sebagai bentuk penghormatan dan pelepasan terakhir. Menurut riwayat, Abdul Muthalib sendiri meminta anak-anak perempuannya menangis dan bersyair untuknya sebelum ia menghembuskan napas terakhir. Tradisi ini, menurut pemahaman saya, adalah bentuk ekspresi duka yang sangat khas Arab, sekaligus sarana mengabadikan kenangan dan kebesaran seorang tokoh.

Syair Eligi dan Tradisi Duka Arab

Yang menarik untuk diperhatikan adalah bagaimana syair menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya Arab. Dalam peristiwa wafatnya Abdul Muthalib, syair-syair duka yang dilantunkan putri-putrinya bukan sekadar ratapan, melainkan juga refleksi atas jasa dan kebesaran sang ayah. Dari pembelajaran saya tentang tradisi Arab Jahiliah, syair memiliki fungsi sosial yang sangat penting: mengabadikan peristiwa, mengekspresikan perasaan, dan memperkuat identitas keluarga. Dalam konteks ini, syair duka untuk Abdul Muthalib menjadi simbol cinta, penghormatan, sekaligus pengakuan atas peran sentral beliau dalam masyarakat Quraisy. Saya membayangkan suasana haru di rumah Abdul Muthalib, ketika keenam putrinya—Shafiyyah, Barrah, Atikah, Ummu Hakim Al-Baidha’, Umaimah, dan Arwa—menangis dan bersyair, mengiringi kepergian sang ayah. Momen ini, menurut saya, menunjukkan betapa kuatnya ikatan keluarga dan tradisi lisan dalam masyarakat Arab saat itu.

Transisi Kepemimpinan: Dari Abdul Muthalib ke Al-Abbas

Setelah wafatnya Abdul Muthalib, terjadi transisi penting dalam pengelolaan sumur Zamzam dan pelayanan air minum bagi jamaah haji. Dari yang saya pahami, tugas mulia ini kemudian dipegang oleh Al-Abbas bin Abdul Muthalib, anak bungsu Abdul Muthalib. Jabatan ini bertahan hingga masa Islam dan bahkan tetap dipegang keluarga Al-Abbas setelah Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam menjadi nabi. Dari perspektif sejarah, transisi ini bukan sekadar pergantian tugas, melainkan juga simbol kesinambungan tradisi dan tanggung jawab sosial dalam keluarga besar Quraisy. Saya kagum dengan bagaimana sistem sosial Arab mampu menjaga kesinambungan peran-peran penting, bahkan di tengah duka dan perubahan besar.

Rasulullah di Bawah Asuhan Abu Thalib: Awal Mula Perjalanan Besar

Sepeninggal Abdul Muthalib, Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam diasuh oleh pamannya, Abu Thalib. Dari berbagai riwayat, saya belajar bahwa hal ini sesuai dengan wasiat Abdul Muthalib, karena ayah Rasulullah, Abdullah, dan Abu Thalib adalah saudara sekandung dari ibu yang sama, Fathimah binti Amr. Abu Thalib dikenal sebagai sosok yang penuh kasih, meski hidup dalam keterbatasan ekonomi. Saya membayangkan, dalam suasana rumah Abu Thalib yang sederhana, Rasulullah tumbuh dengan penuh cinta dan perlindungan. Dari pembelajaran saya, asuhan Abu Thalib sangat berpengaruh dalam membentuk karakter Rasulullah: keteguhan, empati, dan keberanian menghadapi tantangan hidup. Saya selalu terinspirasi oleh bagaimana Abu Thalib, meski bukan orang kaya, tetap memberikan segalanya untuk keponakannya, bahkan rela berkorban demi keselamatan dan kebahagiaan Muhammad muda.

Ramalan Lihb: Isyarat Kenabian Sejak Dini

Salah satu kisah yang selalu menarik perhatian saya adalah pertemuan Rasulullah muda dengan seorang juru tenung bernama Lihb dari Azdi Syanu’ah. Dalam tradisi Arab, juru tenung sering dimintai pendapat tentang masa depan anak-anak. Ketika Abu Thalib membawa Muhammad kecil ke hadapan Lihb, sang juru tenung langsung terpesona dan meminta agar anak itu didekatkan kepadanya. Namun, Abu Thalib segera menjauhkan Rasulullah dari Lihb, karena khawatir akan sesuatu yang tidak diinginkan. Lihb pun berkata, “Demi Allah, dia akan menjadi orang besar di belakang hari!” Dari yang saya baca, momen ini menjadi salah satu isyarat awal tentang keistimewaan dan masa depan Rasulullah. Saya melihat, dalam setiap peristiwa kecil di masa kanak-kanak beliau, selalu ada tanda-tanda kenabian yang Allah tunjukkan kepada orang-orang di sekitarnya.

Hikmah dan Refleksi: Duka yang Menjadi Cahaya

Dari perjalanan panjang kisah ini, saya belajar bahwa setiap duka yang dialami Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam sejak kecil adalah bagian dari skenario agung Allah untuk membentuk kepribadian beliau. Kehilangan kakek, diasuh oleh paman yang penuh kasih, hingga ramalan tentang masa depan, semuanya menjadi bekal spiritual dan mental bagi Rasulullah dalam menjalani misi kenabian. Hikmah yang bisa kita ambil bersama adalah bahwa setiap ujian hidup, betapapun beratnya, bisa menjadi cahaya dan kekuatan jika dihadapi dengan iman dan ketabahan. Semoga kisah ini menginspirasi kita untuk selalu bersyukur, tabah, dan penuh cinta dalam menghadapi setiap ujian kehidupan.

NAVIGASI SIRAH

Terkait

Lihat Semua